14 Negara Pulau Terancam Hilang
Tanpa upaya mereduksi emisi gas-gas rumah kaca – terutama karbon
dioksida – ke atmosfer, dalam jangka panjang bukan hanya pola iklim dan
siklus hidup berubah. Hilangnya ribuan pulau, termasuk 14 negara pulau
di muka bumi ini, akan mengubah peta dunia.
Bencana ini disebabkan naiknya permukaan laut karena mencairnya es di
kutub. Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi dalam pidato kunci
pada Pertemuan Ke-25 Dewan Pengarah (Governing Council) Program
Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) di Nairobi, Kenya, Senin
(16/2), mengingatkan kembali dampak global dari perubahan iklim.
Pencemaran gas-gas rumah kaca telah berdampak nyata pada naiknya suhu
muka laut, mencairnya es di kutub, naiknya tinggi muka laut,
tenggelamnya pulau-pulau, serta hancurnya terumbu karang akibat
pengasaman dan melemahnya ketahanan pangan dari laut.
Karena itu, dalam pertemuan yang dihadiri delegasi dari 136 negara
itu, Freddy mengajak UNEP mengangkat isu laut dan perubahan iklim serta
mengundang dunia untuk bersama-sama hadir di World Ocean Conference
(WOC) 2009 di Manado untuk menyepakati Manado Ocean Declaration (MOD).
Dalam pertemuan yang akan berlangsung hingga Jumat, delegasi RI
dipimpin oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, beranggotakan Gubernur
Sulut sebagai Wakil Ketua Panitia WOC Sinyo H Sarundajang, Sesmenko
Kesra/Sekretaris WOC Indroyono Soesilo, Dubes RI di Kenya Budi
Bowoleksono, Deputi II Menneg LH Masnellyarti Hilman, Dirjen
Multilateral Deplu Rezlan Jenie, dan Kepala BRKP-DKP Gelwyn Yusuf.
Target delegasi Indonesia adalah melaporkan persiapan WOC, Coral Triangle Initiative Summit, dan draf MOD.
Tampil menyampaikan pidato kunci lainnya, yaitu Menteri Pertanian
Belanda Gerda Verburg dan Inspektur United Nations System Tadanori
Inamata.
Pulau tenggelam
Indroyono Soesilo menambahkan, di antara peserta pertemuan hadir
delegasi dari Small Islands Development State (SIDS) yang menyatakan
kesediaannya untuk hadir dalam WOC 2009. Mereka akan mendukung MOD
sebagai upaya untuk mitigasi dan adaptasi menghadapi perubahan iklim.
Diperkirakan dari 44 anggota SIDS, 14 negara kecil di antaranya
terancam hilang akibat naiknya permukaan laut, antara lain beberapa
negara pulau di Samudra Pasifik, yaitu Sychelles, Tuvalu, Kiribati, dan
Palau, serta Maladewa di Samudra Hindia.
Akibat pemanasan global, minimal 18 pulau di muka bumi ini telah
tenggelam, antara lain tujuh pulau di Manus, sebuah provinsi di Papua
Niugini. Kiribati, negara pulau yang berpenduduk 107.800 orang, sekitar
30 pulaunya saat ini sedang tenggelam, sedangkan tiga pulau karangnya
telah tenggelam.
Maladewa yang berpenduduk 369.000 jiwa, presidennya telah menyatakan
akan merelokasikan seluruh negeri itu. Sementara itu, Vanuatu yang
didiami 212.000 penduduk, sebagian telah diungsikan dan desa-desa di
pesisir direlokasikan
Karena ancaman nyata itu, delegasi dari negara kepulauan tersebut
serta Aljazair dan Tanzania sangat mendukung WOC dan akan hadir di
Manado, mengingat negara tersebut terancam hilang dari muka bumi ini
akibat perubahan iklim.
Indonesia sendiri berpotensi kehilangan 2.000-an pulau pada tahun
2030 bila tidak ada program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, ujar
Indroyono, yang juga mantan Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan
DKP.
Ekonomi hijau
Dalam pertemuan itu UNEP mengusung tema ”Green is the New Deal”.
Meski dunia tengah didera krisis finansial, krisis lingkungan akibat
perubahan iklim tetap lebih parah dampaknya. Karena itu, UNEP
memperkenalkan green economy, termasuk ketahanan pangan, biofuel, dan
berupaya terus mengangkat isu kelautan ke dalam program UNEP, kata
Indroyono.
Direktur Eksekutif UNEP Ahiem Steiner dalam sambutannya juga
menyatakan mendukung WOC dan memberikan komitmennya akan membawa
hasil-hasil WOC dan MOD pada COP-15 UNFCCC yang akan diadakan di
Kopenhagen, Desember 2009.
BATUBARA SEBAGAI SEDIMEN ORGANIK
Batubara merupakan sedimen organik, lebih tepatnya merupakan batuan
organik, terdiri dari kandungan bermacam-macam pseudomineral. Batubara
terbentuk dari sisa tumbuhan yang membusuk dan terkumpul dalam suatu
daerah dengan kondisi banyak air, biasa disebut rawa-rawa. Kondisi
tersebut yang menghambat penguraian menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan
yang kemudian mengalami proses perubahan menjadi batubara.
Selain tumbuhan yang ditemukan bermacam-macam, tingkat kematangan juga
bervariasi, karena dipengaruhi oleh kondisi-kondisi lokal. Kondisi lokal
ini biasanya kandungan oksigen, tingkat keasaman, dan kehadiran
mikroba. Pada umumnya sisa-sisa tanaman tersebut dapat berupa pepohonan,
ganggang, lumut, bunga, serta tumbuhan yang biasa hidup di rawa-rawa.
Ditemukannya jenis flora yang terdapat pada sebuah lapisan batubara
tergantung pada kondisi iklim setempat. Dalam suatu cebakan yang sama,
sifat-sifat analitik yang ditemukan dapat berbeda, selain karena
tumbuhan asalnya yang mungkin berbeda, juga karena banyaknya reaksi
kimia yang mempengaruhi kematangan suatu batubara.
Secara umum, setelah sisa tanaman tersebut terkumpul dalam suatu kondisi
tertentu yang mendukung (banyak air), pembentukan dari peat (gambut)
umumnya terjadi. Dalam hal ini peat tidak dimasukkan sebagai golongan
batubara, namun terbentuknya peat merupakan tahap awal dari terbentuknya
batubara.
Proses pembentukan batubara sendiri secara singkat dapat didefinisikan
sebagai suatu perubahan dari sisa-sisa tumbuhan yang ada, mulai dari
pembentukan peat (peatifikasi) kemudian lignit dan menjadi berbagai
macam tingkat batubara, disebut juga sebagai proses coalifikasi, yang
kemudian berubah menjadi antrasit. Pembentukan batubara ini sangat
menentukan kualitas batubara, dimana proses yang berlangsung selain
melibatkan metamorfosis dari sisa tumbuhan, juga tergantung pada keadaan
pada waktu geologi tersebut dan kondisi lokal seperti iklim dan
tekanan. Jadi pembentukan batubara berlangsung dengan penimbunan
akumulasi dari sisa tumbuhan yang mengakibatkan perubahan seperti
pengayaan unsur karbon, alterasi, pengurangan kandungan air, dalam tahap
awal pengaruh dari mikroorganisme juga memegang peranan yang sangat
penting.
PENYUSUN BATUBARA
Konsep bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan
ditemukannya cetakan tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam
penyusunannya batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik
yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignin, dll. Namun komposisi
dari polimer-polimer ini bervariasi tergantung pada spesies dari
tumbuhan penyusunnya.
Lignin
Lignin merupakan suatu unsur yang memegang peranan penting dalam merubah
susunan sisa tumbuhan menjadi batubara. Sementara ini susunan molekul
umum dari lignin belum diketahui dengan pasti, namun susunannya dapat
diketahui dari lignin yang terdapat pada berbagai macam jenis tanaman.
Sebagai contoh lignin yang terdapat pada rumput mempunyai susunan
p-koumaril alkohol yang kompleks. Pada umumnya lignin merupakan polimer
dari satu atau beberapa jenis alkohol.
Hingga saat ini, sangat sedikit bukti kuat yang mendukung teori bahwa
lignin merupakan unsur organik utama yang menyusun batubara.
Karbohidrat
Gula atau monosakarida merupakan alkohol polihirik yang mengandung
antara lima sampai delapan atom karbon. Pada umumnya gula muncul sebagai
kombinasi antara gugus karbonil dengan hidroksil yang membentuk siklus
hemiketal. Bentuk lainnya mucul sebagai disakarida, trisakarida, ataupun
polisakarida. Jenis polisakarida inilah yang umumnya menyusun batubara,
karena dalam tumbuhan jenis inilah yang paling banyak mengandung
polisakarida (khususnya selulosa) yang kemudian terurai dan membentuk
batubara.
Protein
Protein merupakan bahan organik yang mengandung nitrogen yang selalu
hadir sebagai protoplasma dalam sel mahluk hidup. Struktur dari protein
pada umumnya adalah rantai asam amino yang dihubungkan oleh rantai
amida. Protein pada tumbuhan umunya muncul sebagai steroid, lilin.
Material Organik Lain
Resin, merupakan material yang muncul apabila tumbuhan mengalami luka pada batangnya.
Tanin, umumnya banyak ditemukan pada tumbuhan, khususnya pada bagian batangnya.
Alkaloida, merupakan komponen organik penting terakhir yang menyusun
batubara. Alkaloida sendiri terdiri dari molekul nitrogen dasar yang
muncul dalam bentuk rantai.
Porphirin, merupakan komponen nitrogen yang berdasar atas sistem
pyrrole. Porphirin biasanya terdiri atas suatu struktur siklik yang
terdiri atas empat cincin pyrolle yang tergabung dengan jembatan methin.
Kandungan unsur porphirin dalam batubara ini telah diajukan sebagai
marker yang sangat penting untuk mendeterminasi perkembangan dari proses
coalifikasi.
Hidrokarbon
Unsur ini terdiri atas bisiklik alkali, hidrokarbon terpentin, dan
pigmen kartenoid. Sebagai tambahan, munculnya turunan picene yang mirip
dengan sistem aromatik polinuklir dalam ekstrak batubara dijadikan tanda
inklusi material sterane-type dalam pembentukan batubara. Ini
menandakan bahwa struktur rangka tetap utuh selama proses pematangan,
dan tidak adanya perubahan serta penambahan struktur rangka yang baru.
Konstituen Tumbuhan yang Inorganik (Mineral)
Selain material organik yang telah dibahas diatas, juga ditemukan adanya
material inorganik yang menyusun batubara. Secara umum mineral ini
dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu unsur mineral inheren dan unsur
mineral eksternal. Unsur mineral inheren adalah material inorganik yang
berasal dari tumbuhan yang menyusun bahan organik yang terdapat dalam
lapisan batubara. Sedangkan unsur mineral eksternal merupakan unsur yang
dibawa dari luar kedalam lapisan batubara, pada umumya jenis inilah
yang menyusun bagian inorganik dalam sebuah lapisan batubara.
PROSES PEMBENTUKAN BATUBARA
Pembentukan batubara pada umumnya dijelaskan dengan asumsi bahwa
material tanaman terkumpul dalam suatu periode waktu yang lama,
mengalami peluruhan sebagian kemudian hasilnya teralterasi oleh berbagai
macam proses kimia dan fisika. Selain itu juga, dinyatakan bahwa proses
pembentukan batubara harus ditandai dengan terbentuknya peat.
Pembentukan Lapisan Source
Teori Rawa Peat (Gambut) – Autocthon
Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batubara berasal dari akumulasi
sisa-sisa tanaman yang kemudian tertutup oleh sedimen diatasnya dalam
suatu area yang sama. Dan dalam pembentukannya harus mempunyai waktu
geologi yang cukup, yang kemudian teralterasi menjadi tahapan batubara
yang dimulai dengan terbentuknya peat yang kemudian berlanjut dengan
berbagai macam kualitas antrasit. Kelemahan dari teori ini adalah tidak
mengakomodasi adanya transportasi yang bisa menyebabkan banyaknya
kandungan mineral dalam batubara.
Teori Transportasi – Allotocton
Teori ini mengungkapkan bahwa pembentukan batubara bukan berasal dari
degradasi/peluruhan sisa-sisa tanaman yang insitu dalam sebuah
lingkungan rawa peat, melainkan akumulasi dari transportasi material
yang terkumpul didalam lingkungan aqueous seperti danau, laut, delta,
hutan bakau. Teori ini menjelaskan bahwa terjadi proses yang berbeda
untuk setiap jenis batubara yang berbeda pula.
Proses Geokimia dan Metamorfosis
Setelah terbentuknya lapisan source, maka berlangsunglah berbagai macam
proses. Proses pertama adalah diagenesis, berlangsung pada kondisi
temperatur dan tekanan yang normal dan juga melibatkan proses biokimia.
Hasilnya adalah proses pembentukan batubara akan terjadi, dan bahkan
akan terbentuk dalam lapisan itu sendiri. Hasil dari proses awal ini
adalah peat, atau material lignit yang lunak. Dalam tahap ini proses
biokimia mendominasi, yang mengakibatkan kurangnya kandungan oksigen.
Setelah tahap biokimia ini selesai maka berikutnya prosesnya didominasi
oleh proses fisik dan kimia yang ditentukan oleh kondisi temperatur dan
tekanan. Temperatur dan tekanan berperan penting karena kenaikan
temperatur akan mempercepat proses reaksi, dan tekanan memungkinkan
reaksi terjadi dan menghasilkan unsur-unsur gas. Proses metamorfisme
(temperatur dan tekanan) ini terjadi karena penimbunan material pada
suatu kedalaman tertentu atau karena pergerakan bumi secara
terus-menerus didalam waktu dalam skala waktu geologi.
HETEROATOM DALAM BATUBARA
Heteroatom dalam batubara bisa berasal dari dalam (sisa-sisa tumbuhan)
dan berasal dari luar yang masuk selama terjadinya proses pematangan.
Nitrogen pada batubara pada umumnya ditemukan dengan kisaran 0,5 – 1,5 %
w/w yang kemungkinan berasal dari cairan yang terbentuk selama proses
pembentukan batubara.
Oksigen pada batubara dengan kandungan 20 – 30 % w/w terdapat pada
lignit atau 1,5 – 2,5 % w/w untuk antrasit, berasal dari bermacam-macam
material penyusun tumbuhan yang terakumulasi ataupun berasal dari
inklusi oksigen yang terjadi pada saat kontak lapisan source dengan
oksigen di udara terbuka atau air pada saat terjadinya sedimentasi.
Variasi kandungan sulfur pada batubara berkisar antara 0,5 – 5 % w/w
yang muncul dalam bentuk sulfur organik dan sulfur inorganik yang
umumnya muncul dalam bentuk pirit. Sumber sulfur dalam batubara berasal
dari berbagai sumber. Pada batubara dengan kandungan sulfur rendah,
sulfurnya berasal material tumbuhan penyusun batubara. Sedangkan untuk
batubara dengan kandungan sulfur menengah-tinggi, sulfurnya berasal dari
air laut.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar